Perempuan dalam Attack on Titan: antara Emansipasi dan Stereotip
Kamis, 22 Mei 2025 10:20 WIB
Analisis feminis Attack on Titan menunjukkan bahwa meski tokoh perempuannya kuat, mereka masih terjebak dalam narasi patriarkal.
***
Serial anime dan manga Attack on Titan (Shingeki no Kyojin) telah meraih ketenaran global dan diakui sebagai salah satu karya fiksi paling mengesankan dalam beberapa tahun terakhir. Kesuksesan karya ini tak hanya terletak pada aspek hiburannya, tetapi juga pada kemampuannya menghadirkan narasi yang kompleks dan berlapis.
Lebih dari sekadar tontonan populer, Attack on Titan berfungsi sebagai cerminan realitas—menyajikan kisah yang sarat dengan isu politik, konflik ideologis, dan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Kekuatan cerita ini membuka ruang luas untuk ditelaah dari sudut pandang budaya, sosial, hingga filsafat. (Maulana dkk., 2023).
Dalam alur cerita yang penuh dengan kerumitan dan karakter yang dibangun secara mendalam, Attack on Titan menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam mendorong jalannya narasi. Diplomasi antar pihak, pertukaran rahasia penting, propaganda yang tersebar luas, serta dinamika interaksi antar karakter menjadi fondasi utama dalam pembentukan dunia serial ini.
Salah satu daya tarik utama dari Attack on Titan adalah bagaimana kompleksitas moral para karakternya disajikan. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya heroik atau sepenuhnya antagonistik—setiap individu digambarkan dengan berbagai dimensi psikologis dan etis yang membuat mereka terasa nyata. Mereka dihadapkan pada dilema berat, krisis moral, dan proses pendewasaan yang intens.
Selain itu, cerita ini juga secara serius mengeksplorasi tema-tema filsafat seperti kebebasan, takdir, dan hak asasi manusia, menjadikannya lebih dari sekadar kisah aksi atau fantasi (Maulana dkk., 2023).
Dalam Attack on Titan, tokoh-tokoh perempuan ditampilkan sebagai individu yang kuat, kompleks, dan memiliki peran signifikan dalam perkembangan cerita—berbeda dari kecenderungan banyak anime lain yang sering menempatkan perempuan sebagai tokoh pendamping semata. Karakter seperti Mikasa Ackerman dan Annie Leonhart digambarkan sebagai prajurit elit dengan kemampuan tempur luar biasa, sementara Historia Reiss dan Gabi Braun memperlihatkan kedalaman karakter melalui konflik batin dan pertumbuhan moral mereka.
Para tokoh ini tidak hanya terlibat dalam aksi fisik, tetapi juga aktif dalam dinamika politik serta persoalan etika yang membentuk dunia Attack on Titan. Representasi semacam ini dipandang progresif karena menyoroti agensi perempuan tanpa bergantung pada fan-service atau stereotip gender yang umum.
Namun, sejumlah kritik masih muncul, misalnya terhadap Mikasa yang dianggap terlalu terobsesi pada Eren, atau bagaimana beberapa karakter perempuan tetap dibingkai dalam kerangka naratif yang patriarkal. (Laurie dkk., 2021).
“Benarkah AOT memberi ruang setara untuk perempuan, atau hanya menciptakan ‘ilusi kekuatan’?”
Mikasa Ackerman merupakan salah satu tokoh sentral dalam Attack on Titan yang dikenal akan kekuatan fisik yang luar biasa, kecerdasan dalam bertempur, serta kesetiaan yang tinggi terhadap Eren Yeager. Sejak usia muda, Mikasa telah digambarkan sebagai pribadi yang tangguh dengan kemampuan bertarung yang hampir tidak tertandingi, serta ketenangan luar biasa di tengah situasi genting (Napier, 2005).
Perannya sangat krusial dalam berbagai pertempuran besar, sering kali menjadi penentu keberhasilan timnya. Namun demikian, di balik kekuatan tersebut, Mikasa kerap diperlihatkan sebagai sosok yang sangat bergantung secara emosional pada Eren, yang kemudian menciptakan konflik batin dan membatasi otonominya sebagai karakter (Finke et al., 2021).
Dalam kerangka analisis feminis, Mikasa mencerminkan tipe karakter perempuan yang kuat secara fisik, namun posisinya tetap dipengaruhi oleh dominasi laki-laki, khususnya melalui hubungan emosional dengan tokoh utama pria. Ia digambarkan tidak hanya sebagai pejuang, tetapi juga sebagai sosok yang perasa dan setia, terutama kepada Eren, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kekuatannya merupakan hasil dari kemandirian atau justru peran pendamping yang disematkan kepadanya. Ketergantungan emosional ini membuat Mikasa menjadi contoh perempuan kuat yang tetap terjebak dalam konstruksi narasi yang bersifat patriarkal (Cavallaro, 2010).
Di sisi lain, Annie Leonhart dikenal sebagai karakter yang memiliki kepribadian tertutup, dingin, dan penuh determinasi. Sebagai prajurit terlatih dari Marley, ia menunjukkan kemampuan bertarung yang sangat tinggi, terutama dalam hal teknik bela diri. Sebagai Titan Wanita, Annie merupakan sosok yang sangat tangguh, namun berbeda dari banyak tokoh lain, ia cenderung menjauh dari keterlibatan emosional dalam konflik. Sikap keras kepala dan kecenderungannya untuk bertindak sendiri membuatnya tampil lebih sebagai anti-hero daripada pahlawan konvensional. Ia juga dikenal karena ekspresi wajahnya yang datar dan ketenangannya dalam menghadapi kekerasan, yang memberi kesan misterius bahkan mengintimidasi (Fiske, 2010).
Annie merepresentasikan karakter perempuan yang kuat, namun kekuatannya lebih ditampilkan melalui ketegasan dan keterampilan bertarung, tanpa banyak eksplorasi terhadap sisi emosionalnya. Kepribadiannya yang tertutup dan dingin kerap membuatnya dikategorikan sebagai sosok yang “maskulin,” karena tidak menunjukkan sifat lembut atau empatik secara eksplisit. Dalam hal ini, Annie mencerminkan bagaimana karakter perempuan yang kuat sering kali diidentikkan dengan ciri-ciri yang dianggap tidak feminin. Namun demikian, kekuatan Annie tidak hanya bersumber dari fisik, melainkan juga dari keteguhan mental dan kemampuannya bertahan dalam struktur sosial yang menindas. Dari sudut pandang feminis, ia adalah simbol bahwa kekuatan perempuan tidak harus sesuai dengan standar kelembutan tradisional—melainkan bisa tumbuh dari ketabahan dan pengorbanan pribadi (Baker-Whitelaw, 2013).
Walaupun Attack on Titan menampilkan perempuan dalam posisi militer yang sejajar dengan laki-laki, representasi emansipasi mereka belum mencapai kesetaraan penuh dalam hal pengaruh terhadap narasi maupun kekuatan ideologis. Tokoh-tokoh laki-laki seperti Eren, Zeke, dan Armin tetap menjadi pusat pengambilan keputusan strategis dan penggerak utama dalam perubahan dunia, sementara karakter perempuan seperti Historia, yang secara formal memiliki kekuasaan politik sebagai seorang ratu, justru dikesampingkan dan kehilangan peran aktif dalam perkembangan cerita. Dari sudut pandang feminis, hal ini menunjukkan bahwa Attack On Titan masih mempertahankan struktur patriarkal, di mana laki-laki diberi ruang lebih besar untuk menjadi aktor perubahan, sementara perempuan meski digambarkan kuat secara individual, tetap berada di pinggiran naratif (Cavallaro, 2010).
Meski demikian, serial ini tetap menghadirkan dinamika yang menarik antara sistem sosial yang patriarkal dan keinginan perempuan untuk merdeka secara personal. Tokoh seperti Gabi mencerminkan sosok perempuan muda yang lantang, memiliki kesadaran ideologis, dan tidak bergantung pada dukungan laki-laki. Representasi ini dapat dilihat sebagai bentuk kritik terhadap konstruksi "perempuan ideal" dalam budaya populer Jepang, yang sering kali mengedepankan sifat lembut dan pasif. Namun karena Attack on Titan masih dibingkai dalam dunia yang militeristik dan berfokus pada konflik kekuasaan yang maskulin, maka representasi gendernya bersifat ambivalen—mewakili kemajuan dalam citra, tetapi masih konservatif dalam struktur cerita.
Sebagaimana dikemukakan oleh Fiske (2010) dalam kajian budaya populer, media memiliki kecenderungan untuk menampilkan bentuk-bentuk perlawanan yang justru tetap beroperasi di dalam batas-batas sistem dominan. Dalam konteks ini, Attactk On Titan berhasil memunculkan karakter perempuan yang kuat dan beragam, namun belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari kerangka dominasi maskulin yang mendasari narasi utamanya.
Maulana, R., Wijayanti, Q. A. N., Ikom, S., & Ikom, M. (2023). Pengaruh Komunikasi Dalam Konflik Antar Bangsa Di Serial Attack On Titan. Jurnal Media Akademik (JMA), 1(1).
Finke, L. A., & Shichtman, M. B. (2021). Anime and the Art of War: Gender, Power, and Strategy in Attack on Titan. Journal of Popular Culture Studies.
Cavallaro, D. (2010). Anime and the Visual Novel: Narrative Structure, Design and Play at the Crossroads of Animation and Computer Games. McFarland.
Fiske, J. (2010). Understanding Popular Culture. Routledge.
Baker-Whitelaw, G. (2013). "The Feminism of Attack on Titan." The Mary Sue.

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional
0 Pengikut

Apakah Dunia dalam AOT Membenarkan Kekerasan Demi Kedamaian?
Kamis, 22 Mei 2025 10:21 WIB
Perempuan dalam Attack on Titan: antara Emansipasi dan Stereotip
Kamis, 22 Mei 2025 10:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler